There & Then: Art After…Global Pandemic.

 

Pengantar oleh Rizki A. Zaelani dan Gumilar Ganjar

Pameran ini akan mencoba merespon dua hal, pertama adalah seni rupa Bandung, dan yang kedua adalah tentang kondisi ‘normal baru’ yang tengah
dihadapi dalam keseharian kita. 
Sebagaimana diketahui, kondisi normal baru saat ini telah menjadi sebuah anjuran yang sifatnya mandatoris di seluruh dunia. Normal baru muncul dengan beragam jargon yang menyiratkan jika: ‘Anda turut maka anda selamat’ – anjuran yang kadang ‘memaksa’ dan tidak menyisakan pilihan. Bukan berarti bahwa kami kemudian menuntut ‘kedaulatan’ bertindak dalam kebebasan dan kehendak-bebas, namun apa perlu kita kembali pertanyakan relevansi pernyatan Descartes tentang ‘Aku berkir maka aku ada’ sudah tidak menemukan landasan? Tentu, segala aturan, keterbatasan, dan anjuran yang mesti dimandatkan tersebut adalah untuk kepentingan kita semua,namun bukan berarti sebuah perenungan dan pencerminan terhadapnya kemudian tidak dilakukan, serta bukan berarti bahwa hal ini tidak menggeser dan mengubah dinamika sosiokultural, dan pada gilirannya, kemanusiaan.
Pandemi ini, berlaku dalam lingkup global dan simultan. Mengenai lingkup global ini pun sejatinya, bukan hanya baru kali ini kita hadapi. Banyak hal
telah dibagi dan kita alami oleh seluruh masyarakat dunia. Perang dunia, globalisasi dunia, dan juga seni rupa global. Menariknya, kondisi global ini
seringkali menjelma sebagai sesuatu yang dengan begitu saja diterima. Tidak pernah ada yang bertanya pada kita: Maukah anda menjalani proses
globalisasi dunia? Menerima secara sah seni rupa global? atau kini, menerima dengan ikhlas global pandemi? Pun tak pernah ada yang memberi pilihan
apakah anda mau hidup secara ‘normal baru,’ atau ‘normal biasanya’ saja?

Seni Rupa Pasca Global- Pandemi

Seni, dianggap sebagai daya kultural yang tanggap pada dinamika zaman,
semenjak dan terutama pada seni rupa kontemporer. Lantas, dalam situasi
global yang serba tak pasti dan menggantung seperti ini, bagaimana seni
rupa dapat meresponnya? Bagaimana seni kontemporer dapat ‘menggugat’
dan merespon ragam pertanyaan yang diajukan sebelumnya?
Imbuhan pasca (post) yang ditambatkan dalam pameran, sejatinya tidak
menyiratkan kondisi setelah (aftermath) dari pandemi itu sendiri, melainkan menyoal keberlangsungan pengalaman yang tengah dialami sekaligus proyeksi di masa yang akan datang. Apa yang semestinya berbeda dari kehidupan ‘normal baru’? Itulah yang tengah dihadapi ekspresi seni untuk sekarang dan nanti.

Pameran ini mencoba untuk merunut kembali pemikiran tentang ‘kesekarangan’ (contemporaeinity) sebagai spirit dari seni rupa saat ini, dengan mengajukan bahwa ia sejatinya turut membicarakan apa yang terjadi sebelum sekaligus dengan proyeksi ke depan. There and Then, atau ‘di sana dan kemudian’ kemudian muncul atas bentuk sikap kami pada jargon ‘here and now’ – adagium konvensional tentang bagaimana seni modern semestinya berlaku – yang kami rasa sudah mulai tidak lagi relevan. ‘Here and Now’ membayangkan bahwa pengalaman yang dialami saat ini sebagai hal yang paling esensial. Lantas bagaimana ia tetap relevan jika saat ini seni justru dialami melalui mediasi piranti dan tidak lagi pada apresiasi langsung sebagaimana kita alami sebelumnya?

Nilai yang terbit dari pengalaman ‘Here and Now’ adalah tanggungan nilai yang selalu dibawa dalam kebiasaan para seniman Bandung. Pasalnya, mereka adalah kaum seniman yang [terlalu] percaya pada [persoalan] bentuk. Mereka tidak menganggap bahwa penjelasan dari tema dan judul dapat cukup menjelaskan karya mereka, baik dalam karya yang termanifestasikan melalui bentuk abstrak, maupun melalui representasi. Seniman Bandung menganggap bahwa ekspresi dari karya tidak pernah cukup untuk dapat ‘mewakili’ realitas

Ringkasnya, apresiator harus mengalaminya secara langsung – mengapresiasidan menelusuri muatan makna simbolik dan muslihat pengungkapan yang terkandung dalam bentuk-bentuk yang dihadirkan. Hidup selalu menyembunyikan ‘sesuatu’, dan hanya melalui pergulatan dengan ekspresi bentuk-bentuk itulah seniman menghadapi tantangan pencarian atau pengungkapan segala misteri pengalaman hidup. Pameran ‘There and Then’ mengajak para seniman untuk kembali merunut ingatan mereka tentang
pengalaman hidup saat ini menuju pada sesuatu yang tidak ada ‘di sini dalam keadaan sekarang’.

Selain merespon persoalan ‘
here and now’, pandemi ini juga sejatinya mengingatkan kita tentang pentingnya aspek ‘tubuh’ dalam menghadapi dunia ini. Merlau-Ponty mengungkapkan sebuah konsep yang bertajuk ‘kesadaran menubuh’ (bodily conscience). Pandemi ini kembali mengingatkan bahwa pemikiran apapun yang hadir dari diri kita, tidak akan pernah lepas dari tubuh, karena kita berada di dunia melaluinya. Ihwal ketubuhan ini, tentu jadi hal yang menjadi terus diperbincangkan karena resiko besar yang di alami di tengah pandemi. Kita menavigasikan tubuh dan diri kita melalui daya persepsi, yang kemudian menjadi jangkar keberadaan dan akar dari eksistensi kita di dunia, menurut Ponty. Ia percaya bahwa dengan persepsi indrawi kita merupakan bukti dari ‘keberakaran’ dunia. Menariknya, seniman Bandung †idak menganggap soal bentuk sebagai hal yang bersifat sik saja; namun juga menyoal kesadaran tentang keterwakilan pengalaman tubuh dalam menghadapi realitas. 

Tajuk ‘
There and Then’ adalah tentang nilai pengalaman ‘Here and Now’ yang sudah tak lagi hadir dalam kondisi saat ini. Mengenai persepsi sekaligus pengalaman akan kesadaran ketubuhan, adalah persoalan yang penting nan genting saat ini. Dalam konteks ini, pernyataan Ponty kembali menjadi penting, bahwa ‘tidak ada upaya yang lebih sulit dari ada mengetahuisecara persis apa yang kita lihat’

Referensi: Ponty, Merlau, (1962). Phenomenology of Perception

Share this post